Kamis, 10 Desember 2009
K0rupt0r. . .
Mencari uang? ? Apakah itu sulit? ? ?
Y. . .bnar itu bkan sulit lagi melainkan sangat sulit. . .
Qt sbagai anak tntunya msih blom biza mrasakan bgaimana sulitnya orang tua mncri uang? ? ? Qt bsanya hanya minta,minta,dan minta . . .
Apalagi jka qt men0leh k blakang,mlihat fakir dan miskin. . .buat makn saja mreka mncri dg susah payah,apalagi untuk berf0ya",sh0ping,perwatn. . .? ? ? Mustahil jika bz sperti itu. . .
Mengapa d ind0nesia ini bnyak sekali fakir,miskin? ? ?
Apa pnyebabnya? ?
Pasti qt tau? K0rupt0rlah penyebab utama kmiskinan.
Mreka berfoya",bersenang",mnikmati uang rakyat,sementara d luar masih bnyak orang yg terluka,terhina,terinjak,terlunta. . harga dri mreka,krna ulah pjabat yg memakan uang rakyat. .
Seandaenya d negri qt tidak ad k0rupt0r,pasti d jamin qt tdak akan sperti ini,tertndas 0leh bngsa laen,pasti setiap kluarga akn mmili sarana yg mewah . . .tdak seperti skaran. !?
Untuk itu musnahkan k0rupsi,hentikan,hentikan,dan hentikan. ,
Rabu, 09 Desember 2009
Mengapa Manusia Beragama
Jumat, 04 Desember 2009
UN, Diadakan untuk Ditiadakan?
Sejak pertama kali dilaksanakan, Ujian Nasional (UN) terkesan terburu-buru mengejar kualitas sumber daya manusia yang dimiliki negara tetangga. Tapi niat mulia itu ditanggapi berbeda oleh peserta didik dan orang tua. Kontroversi terus berlanjut bahkan sampai sekarang. Permintaan untuk meniadakan UN masih sebesar saat UN pertama kali diadakan. Trus, apakah UN memang harus ditiadakan saat ini juga seperti saat UN diadakan pertama kali?
Kalau menurut saya pribadi sih, UN ndak perlu ditiadakan. Kita harus kembali ke tujuan awal diadakannya UN. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 66 ayat 1, UN bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional … bla bla bla. Silahkan baca sendiri. Dari tujuan itu, rasanya ndak ada yang salah dengan UN.
Menurut pasal 68, hasil UN akan digunakan untuk; 1. pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; 2. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan selanjutnya; 3. penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; 4. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Wah, kalau kita lihat dari butir 1 dan 4 maka tambah banyak lagi manfaat positif dari UN. Iya kan?
Tapi, kalau UN kemudian dijadikan sebagai salah satu tolok ukur kelulusan siswa, maka menurut saya UN blum layak. Kenapa? Ya karena standar kualitas pendidikan di negara ini blum bisa distandarkan. Maksud saya begini, kualitas pendidikan di kota besar dan di daerah terpencil jomplang banget, bak bumi dan langit. Nah, kalau standar pendidikan setiap sekolah saja berbeda-beda, lha kok pemerintah seenaknya membuat standarnya sendiri untuk meluluskan peserta didik.
Begitu juga kalau UN juga dijadikan standar penerimaan ke jenjang pendidikan selanjutnya (perguruan tinggi dan sederajat), rasanya kok ndak pas ya? Lha coba perhatikan kasus ini; seorang siswa sudah diterima di universitas terkemuka di Jogja melalui jalur khusus yang diadakan universitas yang bersangkutan, tapi kemudian ndak lulus UN. Kan jadi aneh? Apalagi pernah juga saya dengar, ada seorang siswa yang sudah diterima di sebuah universitas luar negeri melalui seleksi khusus, tapi malah ndak lulus UN beberapa bulan kemudian. Lagipula, kita punya ujian khusus sebagai standar penilaian untuk menerima seseorang sebagai mahasiswa, seperti Ujian Masuk (UM) atau Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Kalau dulu ada UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Tapi dari semua kelemahan UN yang saya sebut di atas, saya tetap ndak setuju UN ditiadakan. Biarlah UN tetap ada, tapi tujuannya yang direvisi sementara. Kalau hasil UN dipakai untuk butir 1 dan 4 pasal 68 di atas, saya rasa ndak ada sisi negatifnya. Maksud saya, dari hasil UN pemerintah jadi tau di daerah atau sekolah mana saja yang proses belajarnya masih berkualitas rendah. Sehingga dari sana pemerintah bisa memberikan bantuan agar sekolah itu memiliki standar yang sama dengan sekolah lain yang sudah mempunyai mutu pendidikan yang bagus.
Biarlah UN tetap dilaksanakan, tapi ndak dijadikan salah satu penentu kelulusan. Percayakan saja penilaian kelulusan dilakukan oleh pihak sekolah. Kalau jaman saya ada yang namanya STTB (kalau ndak salah singkatan dari Surat Tanda Tamat Belajar). STTB-lah yang menentukan kelulusan, bukan UN (waktu jaman saya UN ndak ada, tapi ada Ebtanas). Memang, bisa saja penilaian STTB itu subyektif banget sifatnya. Tapi menurut saya ndak masalah. Sebab para guru pasti ndak sembarangan meluluskan muridnya. Nama sekolah dipertaruhkan jhe!
Jadi sekali lagi, menurut saya UN ndak perlu sampai ditiadakan. Tetap dilaksanakan dengan tujuan yang sedikit diubah. Terutama pada butir 2 dan 3 pasal 68 tadi sebaiknya ditunda dulu untuk beberapa tahun ke depan, atau sampai semua sekolah memiliki standar mutu bagus yang merata. Kalau masih dipaksakan seperti yang sekarang ini, beban berat UN cuma ada di pihak sekolah, murid dan orang tua. Sementara kewajiban pemerintah untuk memberi bantuan kepada sekolah blum dipenuhi dengan maksimal, padahal UN sudah dilaksanakan selama sekian tahun.
Maka saya berpendapat, UN jangan ditiadakan! Tapi kalau direvisi, itu harus! Hehe..