blog

Assalamualaikum Wr Wb
widgeo.net

Jumat, 13 November 2009

Palestina, Antara Logika Agama, Politik dan Kemanusiaan

Agresi Israel ke jalur Gaza, Palestina, telah memakan ribuan korban tewas dan ribuan lainnya terluka, berat dan ringan. Mereka yang menjadi korban pertikaian semata terdiri atas anak-anak dan ibu-ibu. Karenanya, meski bukan melulu persoalan agama, tetapi seharusnya umat Islam beserta pemimpin dunia Islam bersatu membangun solidaritas politik, untuk masa depan dunia Islam dalam menjaga kesinambungan peradaban Islam yang kini terkoyak-koyak.

Menyikapi agresi Israel yang mengabaikan seruan dunia untuk berdamai itu, hampir jamak publik dunia mengecamnya. Meski begitu, beragam persepsi bermunculan. Ada yang melihat agresi Israel itu dengan berangkat dari latar sentimen keagamaan. Sementara lainnya, mengasumsikan sebagai problem politik yang berkepanjangan (bahkan mungkin laten) itu, baik antara Israel dengan Palestina maupun konflik internal warga Palestina dari kubu Hamas dan Fatah. Tetapi masyarakat dunia seakan "sepakat" melihatnya sebagai tragedi kemanusiaan.

Logika Agama

Meskipun agresi Israel ke jalur Gaza Palestina, bukanlah karena sentimen keagamaan melainkan konflik berkepanjangan soal teritorial sejak Israel menjadi "negara" tersendiri, tetapi tidak dapat dipungkiri, jutaan umat Islam seantero dunia, tidak terkecuali di Indonesia, menunjukkan solidaritas dunia Islam. Logika agama ini secara rasional mendapatkan pembenaran dengan melihatnya dalam perspektif sentimen keagamaan, bahwa Palestina adalah "negara Islam" yang diisolir sekian lamanya oleh "negara Zionis" kaum Yahudi.

Mengurai sentimen keagamaan dengan memposisikan Islam versus Yahudi melahirkan persepsi terjadinya perang berjubah agama. Persepsi ini kian dikuatkan dengan mengendus jejak Israel dalam memperdayai Palestina dalam perang yang berkepanjangan dengan memakan korban jutaan umat Islam Palestina dan menghancurkan sejumlah situs-situs peradaban Islam.

Konflik Israel dan Yahudi yang diurai dalam bentangan historisasi menyisakan kisah berkepanjangan, di mana Israel dan Palestina secara geografis merupakan tempat lahir sejumlah nabi dan rasul bagi agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Berangkat dari akar historisitas tersebut memberi harapan kecil akan terciptanya perdamaian di zona tersebut. Sentimen sejarah cukup berpengaruh terhadap masa depan kedua "negara agama" yang kini jadi perhatian publik dunia.

Bahkan penulis pernah menyimak uraian kuliah salah seorang dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beberapa tahun silam, dalam pertemuan perkuliahan, yang menyatakan bahwa Palestina seharusnya diserahkan saja kepada Israel, sehingga masing-masing agama besar di dunia memiliki kota agama, seperti agama nasrani di Vatikan, Roma, dan Mekah-Medinah untuk umat Islam, dan Yahudi di Yerusalem, Palestina.

Dosen sejarah UIN tersebut berangkat dari sentimen sejarah dan bukan dari sentimen agama. Tetapi dapat diduga, guru besar sejarah peradaban Islam UIN Jakarta sontak menuai kritik pedas dari sejumlah mahasiwanya yang menentang pendapatnya.

Tampaknya persoalan tersebut menjadi laten, di mana umat Islam diyakini tidak akan "rida" dengan kehadiran Israel di Palestina. Sebab umat Islam menjadikan Yerussalem sebagai kota suci umat Islam. Bahkan pernah menjadi kiblat umat Islam dan menjadi tempat isra mikraj nabi dari masjidil haram Mekah menuju masjidil aqsa di Palestina. Sentimen agama inilah yang menjadi salah satu komoditas agama bagi solidaritas umat Islam dunia dalam memperjuangkan kebebasan Palestina dari kezaliman negara zionis, Isreal.

Komoditas Politik Barat

Selain sebagai komoditas agama, konflik Israel dan Palestina, acapkali diasumsikan sebagai komoditas politik Barat, khususnya dengan negara adikuasa, Amerika Serikat. Stigma tersebut sulit dibendung sebab menjelang pelantikan Barack Obama sebagai presiden ke-44 Amerika Serikat, penarikan pasukan Israel dari jalur Gaza dilakukan menjelang dan pasca dilantiknya Obama. Hal itu menyiratkan bahwa Israel sengaja memberi "kehormatan" kepada negara adikuasa tersebut dengan menciptakan perdamaian di Gaza, meski semu.

Siapa di belakang Israel yang menyuplai persenjataan dan "garansi agresi" selama ini? Dapat ditebak bahwa secara jamak, Amerika Serikat dianggap negara yang merepresentasikan negara-negara Barat, yang memanjakan Israel sehingga kekuatan dunia sekaliber PBB yang berkutik sedikitpun selama membombardir Hamas berikut masyarakat Palestina di jalur Gaza, yang hingga kini telah mengorbankan ribuan jiwa tewas.

Intervensi Barat terhadap agresi Isreal di Gaza menguatkan pandangan yang mengklaim konflik abadi kedua negara itu, senantiasa dijadikan sebagai komoditas politik barat. Betapa ketika kaum zionis itu memorakporandakan pemukiman masyarakat sipil di Gaza, dunia Barat sedikitpun tidak menunjukkan solidaritasnya.

Ironisnya, sejumlah petinggi negara Islampun tampak kurang tegas dalam merespons penyerangan kaum zionis Yahudi, meski secara nyata mengorbankan umat Islam yang tak berdosa. Maka untuk menyikapi hal ini, tentunya tidak dapat dilihat dalam perspektif dan logika agama semata, melainkan logika politik global.

Perlawanan Hamas di jalur Gaza dengan melancarkan serangan bom di kawasan Israel, bukanlah peperangan berbalut jihad. Demikian animo sejumlah petinggi dunia Islam, sebab sebagian mereka justru menengarai Hamas sebagai teroris. Jika stigma teroris ini disematkan pada kelompok Hamas, maka mereka justru menjadikannya sebagai musuh bersama.

Pertikaian antara kelompok Hamas dan kelompok Fatah di Palestina menjadi "ladang konflik" yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan Israel dan dunia Barat untuk mengadudombanya, sehingga konflik horizontal kian menjalar dan tidak berakhir. Kedua kelompok yang bertikai itu, juga memiliki basis yang berbeda, yakni basis Sunni dan Syi'ah.

Jika perbedaan mashab itu yang dikembangkan, maka dipastikan akan terjadinya perang saudara yang tidak berkesudahan. Hal ini sangat memiriskan sebab konstelasi politiknya berada dalam pusaran konflik agama pula. Rasionalisasi ini dirujukkan pada kasus pertikaian sunni versus syi'ah pasca agresi Amerika Serikat di Iraq. Mereka dengan mudahnya menjadi jebakan Barat dengan mengadu domba antar firqah mashab.

Bagaimanapun gencatan senjata di jalur gaza antara Hamas dan Zionis Israel mulai diberlakukan menjelang dan pasca pelantikan Barack Obama itu, tetapi implikasi agresi Israel ke jalur Gaza telah menelan korban ribuan jiwa.

Tragedi kemanusiaan akibat agresi Israel di jalur Gaza menghentak belahan dunia tanpa mengenal sentimen agama atau sentimen politik. Terjadinya kerusakan akut di pemukiman sipil Palestina di jalur Gaza dan jatuhnya ribuan jiwa yang tewas akibat serangan yang membabi buta itu, patut kita jadikan titik balik bahwa lemahnya solidaritas pemimpin dunia dalam melindungi negara-negara Islam yang terjajah atau dizalimi seperti Palestina.

Di luar itu, umat manusia yang mengedepankan nilai-nilai universal kemanusiaan di berbagai belahan dunia, sejatinya diapresiasi sebagai wujud kebersamaan dengan kesadaran, bahwa nilai seorang manusia senilai dengan manusia seantero dunia.

Tetapi adakah jiwa kemanusiaan bagi mereka, yang justru mengedepankan egoisme kekuasaannya, seperti Israel yang berada dibawah bayang-bayang Amerika? Nihil diharapkan. Karenanya, meski bukan melulu persoalan agama, tetapi seharusnya umat Islam beserta pemimpin dunia Islam bersatu membangun solidaritas politik, untuk masa depan dunia Islam dalam menjaga kesinambungan peradaban Islam yang kini terkoyak-koyak. Akankah pemimpin dunia Islam dapat membangun (kembali) peradaban Islam dalam bingkai solidaritas agama, politik dan kemanusiaan? Wallahu a'lam. (**)