DINASTI MANCHU
Dinasti Ching merupakan dinasti asing di
China yang didirikan oleh bangsa Manchu. Dinasti ini termasuk salah satu
dinasti yang cukup lama memerintah yakni hampir 3 abad. Bangsa Manchu
sekeluarga dengan Bangsa Yurchen yang bertempat tinggal di Manchuria. Pada Awal
abad ke 17 mereka berhasil memebentuk sebuah pertahanan dibawah pimpinan
Nurhachu (Nurhachi). Di bawah kekuasan dinasti Ching, khususnya pada masa
pemerintahan kaisarnya yang terkenal, seperti K’ang Hsi dan Ch’ien Lung, cina
mengalami kejayaan. Dibawah pemerintahan kaisar tersebut wilayah kekuasaan cina
sangat luas, meliputi seluruh wilayah cina dalam (Cina Proper) dan Cina Luar
(The Outlying Section, Mongolia, Manchuria, Sinkiang, dan Tibet). Pengaruh
dinasti ini sampai ke Nepal, Birma, Laos, Siam, Annam, Korea dan Ryukyu. Pada
masa dinasti ini pula penduduk cina berkembang pesat karena masa ini merupakan
masa kemakmuran Cina. Pada masa ini pun sudah banyak orang-orang Eropa yang
datang ke Cina, seperti Inggris, Prancis Spanyol dan Portugis.
1.1
Muncul dan Berkembangnya Kekuasaan Bangsa Manchu
Bangsa
Manchu adalah sekeluarga dengan bangsa yurchen yang bertempat tinggl di
Manchuria. Setelah dinasti Ming berhasil menghancurkan kekukusaan bangsa
Mongol, serangan dari bangsa asing tiak berhenti saampai disitu. Ancaman
berbahaya datang dari sebelah utara, yaitu dari keturunan bangsa Yurchen yang
lebih dikenal dengan bangsa Manchu. Ketika dinasti Chin yang masih keturunan
banngsa Yurchen berhasil dihancurkan oleh bangsa Mongol pada tahun 1234, sisa
dari dari bangsa ini menyingkir hingga mendekati Sungai Amur (Hei-Kiang). Pada
pertengahan abad ke 15 mereka menyusun kekuatan, ketika kekuaatan mereka
bertambah meminhkan inti kekuatannya lebih dekat kearah selatan sebelah timur
laut Mukden. Pada masa dinasti Ming didaerah Manchuria dan daerah perbatasan
lainnya yang terancam bahaya serangan dari suku-suku bangsa Nomad, di
berlakukanlaah sistem pemerintahan berbentuk organisasi Wei yakni pemerintahan
sipil yang di persenjatai dan diberi organisasi militer. Pendududuknya
dibebaskan dari pajak dan dilatih militer serta dimasukkan dalam satuan-satuan
militer sehingga mereka petani dan sekaligus prajurit. Orang-orang Yurchen yang
menetap didarah perbatasan pertanian tersebut berusaha beradaptasi dengan
bentuk pemerintahan Wei ini. Setiap tahun kepala suku Yurchen membawa
persembahan upeti ke Peking dan ia diperbolehkan menukar barang dagangnya
dikota Peking. Pada masa kaisar Wan Li (1573-1619) orang-orang Manchu dipimpi
oleh Nurhachi (1559-1526), merupakan
salah seorang pemimpin yang gagah berani
dan cakap dari klan Aisin Gioro.
Pada masa kaisar Wan Li cina dihadapkan serangan dari Nurhachi yang
bukan hanya disebut sebagai ahli perang,
melainkan jaga seeorang yang memiliki pengetahuan luas mengenai hubungan
politik dengan kerajaan-kerajaan yang pernag berkuasa di China. Pada tahun
1616, ia merasa cukup kuat untuk memutuskan hubungan dengan Vasalitas dengan
Peking dan mendirikan kerajaan sendiri. Pada tahun 1618 ia berusaha menyerang
satuan-satuan Wei cina dan akhirnya pada tahun 1621 ia berhasil merebut kota
Shen Yang (Mukden) dan Liaotung. Pada tahun 1625 ibu kota dipindahkan ke kota
Mukden. Setelah itu ia berhasil menaklukkan suku-suku Mongolia timur.
Dalam
sebuah pertempuran dengan pasukan cina ia terluka parah dan akhirnya meninggal
dunia pada tahun 1626. Kebijakan politiknya digantikan oleh putranya yang
bernam Abahai (1626-1643). Pada tahun 1635 semua suku Mongolia timur mengakui
kekuasaan yang dikendalikan oleh Abahai. Sejak saat itulah istilah bangsa
Manchu mulai digunakan dan disosialisasikan keseluruh cina. Terdapat banyak
pendapat menenai arti dari kata Manchu sendiri. Ada yang berpendapat bahwa
istilah Manchu berasal dari bahasa Yuschen yang berarti “pemerintahan”.
Sebagian ada yang berpendapat bahwa Manchu adalah nenek moyang dari Nurhachi.
Menurut sumber lain nama itu diberikan oleh pendeta Lamaisme di Mongolia
sebagai gelar kehormatan yang berasal dari bahasa Tibet yang artinya “cahaya
terang dari timur”. Para pemimpin bangsa Manchu mulai memakai gelar kaisar
ketika Khan terakhir yang masih keturunan Temudzin menyerahkan cap materai dinasti yuan kepada
Abahai. Untuk nama dinastinya dipakailah
nama berasal dari bahasa cina yaitu dinasti Taching yang berarti Manchu arti
lainnya adalah kebeningan besar.
Bangsa
Manchu merupakan ahli waris yang sah dari dinasti Chin dan dinasti Yuan.
Sejalan dengan naiknya bangsa Manchu ke tampuk kekuasaan, semakin maju pula
peradabannya. Mereka berusah keras untuk memehami sistem peradaban cina, untuk
tujuan itu mereka memperkerjakan orang-orang cina dalam struktur birokrasi
pemerintahan. Organisasi militer dibangun yang dikenal dengan nama organisasi
vandal. Disebut vandal karena setiap laskar memiliki panji-panji sendiri yang
warnanya berbeda sesuai dengan kesatuannya sendiri. Satu vandal sama dengan
satu devisi yang terdiri dari lima jalan (resimen) yang masing jalannya lima
niro. Setiap niro terdiri dari 800 orang prajurit. Hal ini memungkinkan untuk
memperluas daerah kerajaan kesebelah utara sampai mencapai sungai Amur. Pada
1637 wilayah korea berhasil ditaklukkan.
Pada
masa akhir kekuasaan dinasti Ming terjadi pemberontakan petani yang di pimpin
oleh Li Tzu Cheng yang sejak tahun 1640 sudah menguasai kota shantung, Honan,
dan dan bagian-bagian lain dari kota hopei, hunan dan Shensi. Pada tahun 1644
ia menyerang kota Peking. Pada saat bersamaan bangsa Manchu bersiap-siap
menyerang wilayah cina, yang seharusnya penyerangan tersebut dilakukan pada
tahun 1633 namun gagal karena Abahai meninggal sementara putranya yang naik
tahta masih berumur 11 tahun (sumber lain mengatakan beumur 6 tahun), sehingga
pemerintahan harus dijalankan dengan konsep perwalian yang bernama Dorgan
(putra ke 14 nurhachi) . Kesempatan dan peluang baru terbuka ketika kota peking
jatuh ketangan pembrontak Li Tzu Cheng. Saat itu kaisar terakhir Dinasti Ming
Tsung Cheng (1627-1644) menggantung diri pada tangal 3 April 1644 di Mei shan (
bukit Arang) di taman belakang istana.
Ketika
di Peking sedang terjadi pembrontakan di panggillah salah seorang jenderal dari
dinasti Ming yang bernama Wu San Kwei, pada saat itu ia sedang bertugas menjaga
pintu gerbang dinding tembok besar di kota Shan Hai Kuan. Di tengah perjalanan
ia mendengar kabar mengenai kehancuran dinasti Ming dan ditangkapnya ayah dan gundik
kesayangannya oleh pemberontak. Untuk menyelamatkan mereka jendral Wu San Kwei
melakukan perjanjian perdamaian dengan Li Tzu Cheng dan ia pun melakukan
perjanjian (meminta bantuan) dengan bangsa Manchu yang pada saat itu di pimpin
oleh Shun Chih. setelah itu lalu ia kembali ke Shan Hai Kuan. Namun secara
tiba-tiba Li Tzu Cheng menyerang Shan Hai Kuan, ketika Wu San Kwei terdesak
datanglah pasukan berkuda bangsa Manchu untuk membantunya. Li Tzu Cheng pada
akhirnya terdesak mundur, dan berusa mengadakan perundingan dengan Wu San Kwei
dengan menawarkan untuk membagi dua kerajaan bagi kepentingan calon kaisar
pengganti Ming, namun usulan ini di tolak oleh Wu San Kwei. Atas penolakan ini
Li Tzu Cheng lalu memerintahkan untuk membunuh ayah Wu San Kwei dan segera
mundur kekota Peking.
Di
Peking ia menaiki tahta singgasana kerajaan. Untuk mendapat Legitimasi dari
langit, ia mempersembahkan korban agar disebut sebagai “the son heaven”. Namun pada malam harinya istana dan Sembilan pintu
gerbang kota peking di Bakar habis sehinggu Li Tzu Cheng meninggalkan peking menuju wilayah sebelah barat. Tiga
hari kemudian Wu San Kwei memasuki kota peking yang telah terbakar dengan
dikawal oleh penduduk bangsa Manchu. Meskipun demikian bangsa Manchu tidak akan
keluar dari cina lagi malah ia mereka memindahkan pusat pemerintahan dari Mukden
ke Beijing. Di kota Peking inilah cucu Nurchaci dinobatkan menjadi kaisar yang
terkenal dengan sebutan kaisar Shun Chin (1644-1662). Sehingga dengan demikian
berakhirlah pemerintahan dinasti Ming dan digantikan dengan pemerintahan
Dinasti Ching (Manchu).
1.2
Masa Pemerintahan Kaisar Shun Chin (1644-1662)
Kaisar
pertama dinasti Ching adalah cucu Nurhachu ialah Shun Chin (1644-1662) Hingga
ia berusia 14 tahun, kendali pemerintahan dipegang oleh walinya yang bernama
Dorghon. Ia memusatkan perhatian kepada
konsolidasi wilayah cina yang dikuasai oleh bangsa barat. Dorghon wafat
pada tahun pada tahun 1651, Shunzhi memegang kendali pemerintahan sepenuhnya. Shunzhi merupakan seorang pribadi
yang selalu ingin tahu dan gemar belajar. ia mempelajari bahasa Tionghoa agar
dapat membaca dokumen arsip kerajaan.
Sebagai
penguasa pertama dinasti ini, ia harus berjuang keras untuk membersihkan kaum
pemberontak dan menarik simpati rakyat. Cara yang dilakukan untuk mendapat
simpati dan dukungan rakyat adalah dengan memakamkan kaisar dan ratu terakhir
dinasti Ming dengan upacara kehormatan
dan memberi penghargaan kepada para pejabat yang gugur dalam pemberontakan
itu. Hal tersebut dilakukan Shun Chin untuk memperkuat kekuasaan kerajaan.
Berikut beberapa usaha tersebut :
1.
Tiap-tiap orang tionghoa harus berkuncir sebagai tanda takluk kepada
dinsti Manchu.
2.
Pejabat tinggi dan pemerintahan dijabat oleh dua orang, yakni seorang bangsa
Tionghoa dan seorang Bangsa Manchu. Hal ini membuktikan bahwa bahwa bangsa
Manchu menggunakan adat Tradisi bangsa Tionghoa sebagai kebudayaan sendiri.
3.
Negara dibagi menjadi 18 provinsi untuk memudahkan pengaturan administrasi
disamping itu tetap dilakukan ujian jabatan.
4.
Melarang orang kebiri, yaitu penjaga-penjaga harem untuk menjabat pemerintahan
dan melarang perkawinan campuran pula.
5.
Mengadakan hubungan persahabatan dengan bangsa barat (belanda), persahabatan
ini diperkuat dengan dikirimkannya utusan ke Peking dibawah pimpinan Pieter de
Goyer dan Jacob de keyser pada tahun 1556.
Pada
tahun 1647, pihak Ching berhasil mengalahkan dan membunuh pimpinan pembrontak
yang bernama Zhang Xianzhong di provinsi Sichuan. Zhang merupakan orang yang
terkenal kekejamannya karena telah membunuh jutaan orang. Pada akhirnya pemberontakan
selama dua dekade yang memporak- porandakan dinasti Ming berhasil dipadamkan. Tujuan
awal dari bangsa Manchu memasuki cina adalah untuk membalas dendam atas
kematian kaisar terakhir Dinasti Ming dan menyelamatkan negeri itu dari kaum
pembrontak. Namun tujuan ini tidak sepenuhnya mulia. Mereka menolak untuk
meniggalkan Peking dengan alasan bahwa mereka tidak merebutnya dari dari
Dinasti Ming melainkan mengamankannya dari kaum pemberontak. Bahkan pada bulan
Oktober 1644, mereka memindahkan ibu kotanya yang awalnya di Mukden ke Peking,
dengan ini secara resmi ini awal berdirinya Dinasti Ching. Dinasti ini
sangatlah berkuasa, terbukti bangsa Manchu memaksa bangsa Tionghoa meguncir
rambutnya seperti kebiasaan mereka.
Setelah megetahui niat bangsa Manchu
adalah untuk menjajah cina, orang-orang yang setia terhadap Dinasti Ming
melakukan pembrontakan. Pada awal pemerintahannya Dinasti Ching hanya berhasil
meguasai Cina Utara saja, sedangkan Cina selatan dikuasai oleh orang-orang yang
masih setia dengan Dinasti Ming. Selanjutnya berperan cukup besar dalam
penaklukan wilayah selatan cina adalah Wu San Kwei yang sejak awal terlanjur
menjadi sekutu bangsa Manchu dan sulit keluar dari persekutuan tersebut. Hal
ini mengakibatkan oleh bangsa Cina ia dianggap sebagai pengkhianat Negara yang
menjual asset negara kepada Bangsa Manchu. Sedangkan Li Tzu Cheng di anggap
sebagai pahlawan yang harus di hormati. Pada tahun 1645 tepatnya di kota
Nangking mereka mengangkat pangeran Fu sebagai kaisar namun hanya mementingkan
kesenangan saja. Sehingga pada tahun 1645 Nanking telah jatuh ketangan bangsa
Manchu, sedangkan kaisarnya tenggelam ke di sungai Yangtsu. Sementara itu
faksi-faksi pendukung Dinasti Ming lainnya (keturunan kaisar dinasti Ming) masih
melakukan perlawanan yang tidak terkoordinasi (tidak ada ikatan persatuan dan
perjuangan) untuk menghancurkan bangsa Manchu. Masing-masing faksi mengangkat
pimpinannya masing-masing. Misalnya, salah satu kelompok mengangkat kaisar Lu
sebagai kaisar baru di Shaoxin, dan yang lain mengangkat pangeran Tang di
Fuzhou. Kedua pangeran ini adalah paman dan keponakan, akan tetapi tidak dapat
bekerja sama dengan baik sehingga dapat dikalahkan oleh bangsa Manchu.
Selanjutnya muncullah pangeran Gui cucu kaisar Wanli untuk meneruskan
perlawanan terhadap bangsa Manchu, di propinsi Guangzhou, ia berhasil merebut
tujuh wilayah propinsi yangterletak di bagian selatan dan barat laut cina pada
tahun 1648. Namun pembrontakan ini harus mengalami kekalahan karena penghianat yang
bekerja sama dengan bangsa Manchu.
Dari semua perlawanan yang dilakukan
oleh orang-orang yang setia kepada dinasti Ming, yang paling lama adalah yang
dipimpin oleh seorang panglima pendukung setia Dinasti Ming bernama Zheng
Chenggon (1624-1662). Ia dikenal sebagai Koxinga oleh bangsa barat. Nama ini
berasal dari kata Guoxingye yang berarti Tuan penyandang marga kerajaan. Karena
kesetiaannya terhadap Dinasti Ming ia di beri marga atau nama keluarga Zhu,
yang merupakan marga penguasa dinasti Ming.
Zheng Chenggon adalah putra Zheng
Zhilong, anak buah pangeran Tang dengan seorang wanita berkebangsaan jepang
bermarga Tagawa. Pada awalnya Zheng anak buah pangeran Gui. Pada tahun 1653 ia
berhasil merampas Xiamen (Amoy) yang terletak di pesisir pantai Provinsi Fujian
(fukian). Ketika kekuasaan pangeran Gui semakin terdesak, Koxinga mengundurkan
dirinya ke pulau Taiwan yang pada saat itu masih diduduki oleh Belanda.
Sehingga terjadi pertempuran antara Belanda dan Koxinga yang pada tanggal 1
Februari 1662 di menangkan oleh Koxinga. Lalu ia menjadi raja atas pulau
tersebut, pada tahun yang sama Koxinga wafat dan perjuangannya di lanjutkan
oleh putranya yang bernama cheng-cing untuk memerintah di Taiwan. Setelah putera
Koxinga wafat (1683) barulah pulau ini dikuasai oleh dinasti Ching. Kesetiaan
Koxinga menimbulkan kekaguman kaisar Kangxi (penguasa dinasti Ching) sehingga
ia disebut sebagai pahlawan. Berkat bantuan dari Wu San Kwei secara teknis
militer seluruh wilayah cina selatan telah di taklukkan oleh dinasti Manchu
pada tahun 1659. Selanjutnya Wu San Kwei di angkat oleh dinasti Manchu sebagai
raja Muda di Yunan. Ia di bantu oleh dua orang jendral yang kemudian di
tempatkan di kota Kuantung dan Fukien. Lalu, Shun Chin Meniggal pada tahun 1662
disebabkan Setelah kematian selir kesayanganya yang bernama Xiao Xian pada usia
22 tahun, kesehatan kaisar menurun drastis dan wafat 4,5 bulan kemudian.
1.3
Masa Pemerintahan Kaisar K’ang Hsi (1662-1722) dan Yung Cheng (1723-1735)
Setelah Shun Chin meninggal, kemudian
digantikan oleh putra ketiganya yang bernama K’ang Hsi (1662-1722) yang pada
saat itu berumur 9 tahun (sumber lain menyebut berumur 8 tahun). Karena usianya
yang sangat muda ketika diangkat menjadi kaisar, kendali pemerintahan untuk
sementara dipegang oleh Oboi. Numun ketika berusia 14 tahun dengan dukungan
Songgotu, paman permainsurinya yang bernama ratu Ren, direbutnya kendali
kekuasaan dari tangan Oboi. Pada awal pemerintahannya dinasti masih terancam
dengan pemberontakan yang dilanjutkan oleh keturunan kongxinga meskipun dari
tempat pengasingan di Taiwan. Mereka mengadakan serangan-serangan ke daerah di
sepanjang sungai di wilayah Cina. Disisi lain Wu San Kwei yang diberi kekuasaan
sebagai raja muda di Yunan berkeinginan untuk menyaingi kejayaan dinasti
Manchu. Ambisinya di dukung oleh dua raja muda dari yang berkuasa di Kuantung
dan Fukien. Karena itulah penguasa Peking selalu mencurigai dan mencari jalan
untuk melenyapkan pesaing yang sangat berbahaya tersebut, salah satu cara yang
dilakukan adalah menculik menyandra anak Wu San Kwei yang menetap di Pekina. Lalu
pada tahun 1673 meletuslah pembrontakan dari tiga raja Muda tersebut yang
dikenal dengan “Pembrontakan San Fu”, yakni :
a.
Pemberontakan
Wu San Kwei di Yunan (Canton).
b.
Pemberontakan
Keng Ching Chung di Fukien.
c.
Pemberontakan
Shang Chih Hsin di kuantung.
Dalam mengatasi pembrontakan tersbut
K’ang Hsi turun tangan langsung.
Pembrontakan tersebut berjalan cukup lama kira-kira1673-1683. Dalam hal
ini ternyata Taiwan juga membantu pembrontakan yang di lancarkannya itu. Pada
saat itu keadaan yang di hadapi dinasti Manchu sangat berbahaya. Namun dengan
konsolidasi yang sangat baik yang dilakukan oleh K’ang Hsi dinasti Manchu
berhasil diselamatkan oleh kehancuran. Dalam pembrontkan tersebut Wu San Kwei
menuntut agar cina selatan diserahkan kepadanya dan ia tidak akan mengganggu
cina utara lagi. Namun K’ang His tidak mengabulkannya, bahkan ia melakukan
tindakan tegas dan menumpas pembrontakan Wu San Kwei di Cina utara. Penumpasan
ini berlanjut dengan penumpasan yang kedua kalinya di Cina Selatan pada tahun
1675. Pada tahun 1678 Wu San Kwei meninggal pada usia lanjut dan perjuangannya
dilanjutkan oleh putranya. Namun serangan dinasti Manchu ke ibu kota Yunan
tidak bias di bending lagi,akhirnya karena kegagalannya anak Wu San Kwei mati
gantung diri pada tahun 1682. Tak lama kemudian seluruh keluarga dan keturunan
Wu San Kwei di Basmi sampai keakar-akarnya. Setelah dapat menaklukkan Yunan
Penyerangan di lanjutkan ke Taiwan yang baru dapat ditaklukkan setelah Cheng
Cing meninggal tahun 1683. Namun dalam sumber lain dijelaskan bahwa
pembrontakan tiga raja muda tersebut berlangsun selama 8 tahun dan dapat
diselesaikan pada tahun 1681.
Hingga
saat itu Dinasti Ching melakukan politik pemisahan rasa antar bangsa Manchu dan
Bangsa Tionghoa. Bangsa Tionghoa yang berhasil ditaklukkan dijadikan sebagai
budak dan harus tingal ditempat yang terpisah. Perkawinan campuran antar kedua
bangsa ini dilarang. Lebih jauh mereka diusir dari dari kota terlarang
disebelah utara dan diharuskan tinggal di kota “Tionghoa” di Selatan. Kangxi
memperlunak politik ini, ia melarang penyitaan tanah dan meringanka pajak.
Akhirnya hal ini meningkatkan pertanian dan menjamin pendapatan negara yang
stabil. Disisi lain kaisar berusaha menukan korupsi dengan menaikkan gaji
pejabat negara.
Kangxi
sangat mencintai literatur Cina, sehingga ia mengumpulkan para sarjana dan
memimpin penulisan sejarah cina, termasuk sejarah dinasti Ming. Ia jaga
merupakan penggemar ilmu pengetahuan, yang mempelajari berbagai cabang ilnu
pengetahuan dan musik dari para Yesuit
dan menunjuk mereka sebagai ahli astonomi, kedokteran dan juru pembuat peta
kerajaan. Selain menggemari ilmu pengetahuan ia pun sangat menyukai kesustraan.
Hasil karya K’ang Hsi yang terkenal ialah:
1. Mengnyusun satu Ensiklopedia yang memuat
kutipan-kutipan buku-buku penting yang terdiri dari 5.000 jilid.
2. Menyusun kitab Logat yang disebut dengan
nama “K’ang Hsi Tse Tien (kitab Logat K’ang Hsi)”
3. Sebagai pelindung sastra dan seni ia
menulis cerita Impian di Paseban Merah (The Dream Of Red Chamber) atau Hung Lew
Meng.
4. Ia juga mengeluarkan edic Suci, yang
berisi tentang perturan-peraturan kebijaksanaan bagi bangsa Tionghoa. Edic suci
ini merupakan pegangan hidup karena berisi dasar-dasarpemerintahan dan cara-cara
hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Penguasa
Dinasti Ching ini juga gemar berpergian. Selama pemerintahnnya Kangxi
berpergian sebanyak enam kali, dengan perjalanan yang besar-besaran keseluruh
negeri untuk memperkenalkan dirinya pada rakyat serta melakukan inspeksi
berbagai bendungan dan terusan. Kangxi behasil pula mengembalikan dominasi cina
atas Asia Tengah dan Tibet. Dalam bidang ekonomi ia menitiberatkan pada sector pertanian.
Ia banyak membuka tanah-tanah peranian baru dan kepada para petani diberikan
bantuan yaitu, bibit, perkakas pertanian, dan bahkan mendapat bimbingan dari
ahli pertanian. Perairan diperbaiki dan melakukan pengeringan rawa-rawa.
1.3.1 Politik Luar
Negeri K’ang Hsi
Diranjang
kematiannya Kangxi menuliskan prinsip-prinsip pemerintahan yang berbunyi :
Berbaik
hatilah pada orang yang datang dari jauh serta dekatkan diri dengan orang yang
berkompetensi tinggi, cukupi kebutuhan rakyatmu, (senantiasa) ingatlah
keuntungan semua orang, semua keuntungan sejati, dan pikiran warga seluruh
negeri sebagi pikiran sejati, lindungi negara sebelum bahaya (benar-benar)
datang serta memerintahlah dengan baik sebelum timbul gangguan, senantiasa
rajin dan waspadalah.........
Pada mulanya yang diangkat sebagai putra
mahkota adalah putra keduanya yang bernama Yinreng, namun karena
tindakannya yang tidak bermoral dan
usahanya untuk menggulingkan kaisaria dipecat dari jabatannya. Kangxi menolak
untuk menyebutkan calon penggantinya hingga saat kematiannya, di manaputra ke
empatnya, Aishingioro Yinchen menyatakan bahwa dirinya yang terpilih. Yinchen
naik tahta dengan gelar Yongzheng (1723-1735). Setelah ia naik tahta dengan
cepat menyingkirkan lawan-lawannya. Untuk memperkokoh kekuasaanya, ia
mengeluarkan peraturan bahwa seluruh keputusan penting haruslah di setujui
olehnya. Ia mengawasi pera pejabat denngan sangat ketat dan memberikan
penghargaan terhadap mereka yang setia. Disisi lain ia menekankan dan
menyenarkan nilai-nilai moral dan memajukan pendidikan. Kaisar ini pengenut
setia Buddhisme Zen sama seperti kakeknya. Khawatir akan timbul perselisihan
akibat perebutan tahta, Yongzheng merahasiakan nama pewaris tahtanya. Ia
menuliskan nama calon tersebut dan menyembunyikannya dalam sebuah kotak
bersegel di belakang papan nama peringatan para leluhur yang hanya boleh dibuka
setelah kematiannya.
1.4 Masa Pemerintahan
Kaisar Yung Cheng (1723-1735) dan Ch’ieng Lung (1736-1796)
Yongzheng
digantikan oleh putenya yang keempat yang bergelar Ch’ieng Lung (1736-1705). Ia
adalah kaisar keempat dan sekaligus sebagai kaisar terbesar pada masa pemerintahan
dinasti Ching. Semasa pemerntahannya, China adalah negara terkaya dengan
pnduduk terpadat di dunia. Semasa kanak-kanak, Ch’ieng Lung telah menjadi cucu
kesayangan kakeknya, Kaisar Kangxi. Guru-guru ternama telah ditunjuk oleh
Kangxi untuk mengajar cucunya itu dan ia sering diajak serta dalam kegiatan
perburuan yang dilakukan kakeknya. Keberanian Ch’ieng Lung sudah terlihat
ketika ia masih berumur 8 tahun, yitu ketika ia diserang oleh seekor beruang
dalam suatu perburuan saat mengikuti kakeknya. Dengan gagah berani, ia tetap
duduk di atas punggung kudanya saat bahaya mengancam. Sepanjang hidupnya, Ch’ieng
Lung menjadikan kakeknya sebagai teladan dan mengundurkan diri setelah
memerintah selam 60 tahun agar tidak melebihi pada saat kakeknya memerintah.
Kaisar Ch’ieng
Lung merupakan sosok pribadi yang luar biasa. Ia sangat piawai dalam strategi
militer, sastra, seni lukis, dan ilmu pengetahuan. Ch’ieng Lung banyak
melakukan ekspedisi militer untuk menaklukan negeri-negeri sekitarnya. Seorang
bangsa Eleut yang merasa berhak atas tahta kerajaan di negerinya meminta
bantuaan Ch’ieng Lung untuk mendudukkannya sebagai seorang raja. Seorang
jenderal dikirim oleh Ch’ieng Lung memimpin ekspedisi untuk merebut singgasana
bagi orang yang meminta bantuan tersebut. Meskipun demikian, setelah merasa
memiliki cukup kekuatan, ia memberontak terhadap dinasti Ching.
Akan tetapi
pemberontakan itu berhasil dipadamkan pada tahun 1757 dan wilayahnya dimasukkan
dan dijadikan dalm kekuasaan Dinasti Ching. Di Kashgar dan Yarkand, bangsa
Turki yang merupakan bawahan bangsa Eleut menerbitkan pemberontakan. Akan
tetapi berhasil ditumpas pada tahun 1759. Sebelunya, menteri tertinggi, Dalai
Lama di Tibet pernah bersekutu dengan bangsa Eleut sewaktu mereka belum
ditaklukan. Wakil Dinasti Ching yang disebut Amban, mengetahui peristiwa ini
dan membunuh bangsa tersebut. Bangsa Tibet kemudian memberontak dan membunuh
kedua Amban beserta bangsa Tionghoa yang ada di Lhasa, ibukota Tibet. Ch’ieng
Lung mengirim pasukannya kesana dan mengembalikan hegemoni China pada tahun
1751. Seorang gubernur ditempatkan di Tibet dan raja muda provinsi Shicuan
diperintahkan untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan di Tibet
Rakyat Burma
pada waktu itu masih sering menggangu perbatasan China. Oleh karena itu,
peperangan tidak dihindarkan lagi yang berlangsun antara tahun 1765-1769. Burma
baerhasil dikalahkan dan mengakui kekuasaan China. Dengan demikian, semasa
pemerintahan Ch’ieng Lung wilayah kekuasaaan Dinasti Ching menjadi semakin luas
dan banyak bangsa yang mengakui kekuasaannya. Korea, Annam, dan negara-negar
kecil lainnya menjadikan China sebagai pelindungnya.
Ch’ieng Lung
memiliki pengaruh besar dalam bidang kesusastraan. Sekitar 30.000 syair telah
dituliskan dalam bahasa Tionghoa serta Manchu. Yang paling terkenal diantara
sajak-sajak itu berjudul Elegi Mengnai Mukden (Shenyang), ibukota lama bangsa
Manchu dan teh. Ia mencurahkan pula tenaganya untuk memperbaiki tata bahasa
Manchu. Kaisar terbesar kedua dinasti Ching ini gemar pula mengumpulkan
buku-buku. Karena itu, ia tergerak menyusun antologi karya-karya China dari
segala zaman. Sejumlah sarjana terkemuka dikumpulkannya untuk melakkukan
mahakarya ini. Antologi yang dikehendaki Ch’ieng Lung harus memuat karya
penting yang ada. Bahkan gubernur-gubernur provinsi diperintahkan untuk
meminjam buku-buku langka dari penduduknya. Kaisar juga meminjam buku-buku dari
perpustakaan umum. Dengan demikian, buku-buku dan naskah-naskah berharga
mengalir ke Beijing.
Antologi yang
diususn oleh Ch’ieng Lung itu disebut sebagai Empat Kamar Mestika (Sigu Quashu)
dalam 36.000 jilid yang memuat 79. 582 pasal. Isinya dikategorikan sebagai
empat bagian: (1) Jing atau karya-karya klasik konfusianisme, (2) Shi atua
sejarah, (3) Zhi atau filsafat dan ilmu pengetahuan, dan (4) Ji atau
kesusteraan. Sebagai tambahan, mahakarya ini ditulis oleh 15.000 penulis.
Setelah karya ini selesai, kaisar memerintah untuk membuat tujuh salinannya
guna ditempatkan di istana kaisar Beijing, istana musim dingin Beijing,
perpustaan-perpustaan di Feangtian, Jehol, dan Yangzhou, kuil Bukit Emas, dan
Shenyin. Disusun pula daftar pustaka yang dipergunakan untuk menysun antologi
raksasa tersebut, dimana daftar pustka itu saja sudah merupakan kumpulan
buku-buku yang berjilid-jilid. Ironisnya, itu merupakan pecinta buku, Ch’ieng
Lung memerintahkan pembakaran buku yang tidak kurag dari 2.300 buku yang
mengandung perasaan anti-Manchu serta kesetiaan Dinasti Ming. Orang-orang
didapati memilki buku-buku yang semacam itu akan dijatuhi hukuman mati.
Masa
pemerintahan Ch’ieng Lung boleh dikatakan sebagai zaman kemakmura bagi China.
Bahkan kemasyuran Qianlong mencapai benua Eropa. Voltaire (1676-1778), filsof
Perancis tersohor, menyamakan Ch’ieng Lung dengan Fredrik Agung (1712-1786)
yang juga disebut sebagai Fredrik II, dimana ini membangkitkan perasaan tidak
senang dalam diri raja Rusia (Jerman) tersebut, karena mersa dirinya lebih
tinggi dibandingkan Ch’ieng Lung. Voltaire menyatakan bahwa di dunia ini hanya
dua raja saja yang senag kesusteraan, yakni Fredrik dan Ch’ieng Lung.
Populasi rakyat
China mengalami peningkatan drastis. Pada al masa pemerintahan Ch’ieng Lung,
penduduk China berjumlah 60 juta (1736). Angka ini menjadi 100 juta pada tahun
1753. Tiga tahun sebelum Ch’ieng Lung wafat (1792), jumlah penduduk meningkat
menjadi 300 juta. Sehingga dapat dikatakan bahwa semasa pemerintahan Ch’ieng
Lung, jumlah penduduk meningkat hingga lima kali lipat. Kemakmuran ini
dutunjang oleh usaha Ch’ieng Lung memajukan pertanian. Tanah-tanah yang tidak
dikerjakan diambil alih pemerintahan dan dipergunakan untuk kegiatan pertanian.
Pemerintah mendorong para petani agar memperoleh hasil panenan yang baik. Para
petani yang hasil panennya baik akan diberi hadiah dan penghargaan.
Peristiwa
penting yang patut dicatat adalah kunjungan duta besar Macartney dari Inggris
untuk membuka hubungan antara China dan dunia Barat pada tahun 1792, namun
sayangnya hubungan dengan bangsa barat ini kelak diakhiri dengan penjajah
beberapa bagian China. Macartney menyampaikan maksud pemerintahan untuk
menjalin hubungan dagang serta kedutaan di China. Tetapi Ch’ieng Lung
menjawabnya dengan pernyataan, “ aku tidak menghargai sedikitpun barang aneh
ataupun luar biasa dan tidak memerlukan hasil dari negara anda.” Utusan ini
dapat dinilai sebagi sutu kegagalan.
Menjelang akhir
pada masa pemerintahan Ch’ieng Lung, kekuasaan jatuh ke tangan seorang pengawal
istana bernama Haeshan (1750-1799). Dengan kecerdasan serta penmpilannya yang
elok, ia berhasil memenangkan perhatian dari kepercayaan kaisar. Haeshan adalah
orang yang tidak tahu malu dan mengangkat anggota keluarganya sebagai pejabat
penting. Selain itu, melakukan pula korupsi besar-besaran. Pada saat
kematiannya, kekayaannya diperkirakan mencapai setengah miliar Dolar Amerika
sekarang.
Kemunduran yang
terjadi semasa akhir pemerintahan Ch’ieng Lung ini menimbulkan ketidakpuasan di
mana-mana.. semangat nasionalisme bangsa Tionghoa bangkit. Serikat-serikat
rahasia yang bertujuan mengusir bangsa Manchu bermunculan bagai jamur di musim
hujan, seperti Bailianjio (Sekte Teratai Putih), Tiandihui (Serikat Bumi dan
Langit), dan Gaolaohui (Serikat Usia Panjang). Anggota Sekte Teratai Putih ini
merupakan loyalis-loyalis Dinasti Ming. Mereka menerbitkan pemberontakan secara
terang-terangan pada tahun 1793 di lembah Sungai Yangzi dan baru dapat
dipadamkan pada masa pemerintahan Jiajing, putra Ch’ieng Lung, pada tahun 1804.
Pemadaman pemberontakan ini telah menghabiskan dana sebesar 20 juta mata uang
perak.
Setelah
memerintah selama 60 tahun, Ch’ieng Lung mengundurkan diri dan menyerahkan
tahta pada puteranya. Dan akhirnya tiga tahun kemudian ia wafat (1799).
1.4
Masa Pemerintahan Jiajang
Jiajing (1796-1820)
, penguasa tertinggi dinasti Ching berikutnya , adalah putra ke lima dengan selirnya yang bernama Xiao Yi. Ibu
Jiajing ini pada mulanya hanya selir kelas dua yang diangkat sebagai ratu pada
tahun 1750. Saat kematian Ch’ieng Lung pada tahun 1799. Jiajing dengan segera
merebut kendali pemerintahan yng masih berada ditangan Heshan dan memaksanya
untuk bunuh diri. Jiajin merupakan sosok
yang cendekia serta bertubuh sehat. Ia menggerari olahraga yang berbau
kemiliteran. Sebagi penguasa, ia biasa bangun pagi dan bekerja keras,
namun sanyangnya korupsi besar – besaran
yang dilakukan Heshan dan keluarganya mengosongkan kas kerajaan. Kelaparan
terjada diman – mana sehingga menimbulkan banyak pemberontakan. Para pemimpin
pasuka panji tidak dapat lagi mempertahankan keamanan dan ketertiban Negara,
karena mereka telah dilemahkan oleh kemewahan hasil korupsi.
Antara tahun
1799–1803, Jiajing harus bejuang menghadapi pemberontakan–pemberontakan yang
timbul didaerah Cina tengah dan selatan, perasaan anti Manchu makin merebak
dimana–mana, terutama dlam bentuk serikat rahasia seperti perkumpulan teratai
putih dan traiad. Pada tahun 1813, kaisar nyaris saja menjdi korban pembunuhan
oleh para pemberontak yang dibantu kaum Keberi istana. Kaum pemberotak itu
nekat memanjat tembok istana, tetapi dapat dipergoki oleh putra kedua kaisar,
yang menembak mati beberapa orang diantaranya. Pasukan pengawal istana
berdatangan dan menghalau serangan itu.
Akibat banjir
yang melanda sungai kuning, Cina bagian timur menjadi tanah terbengkalai.kaisar berusaha mengatasi
kekacauan pada saat itu dengan membangkitkanajaran moralitas konfusianisme,
yang memang berguna pada saat negar
dalam keadaan tentram. Namun, dalam kondisi Negara yang kacau balau, tentu hal-hal
filosofis semacam itu tidak banyak mengandung manfaat. Jiajing wafat kerena
sengatan panas pada tahun 1820, diman sebelumnya secara rahasia ia telah
menunjukkan putra keduanya, Aishingioro minning , sebagai putra mahkota pada
tahun 1799.
Sumber
Pada masa kaisar
berikutnya Daoguang (1821-1850), terjadilah peristiwa penting dalam sejarah
Tiongkok, yakni Perang Candu. Latar belakang perang ini adalah sebagai berikut:
semenjak kegagalan kunjungan Macartney dilakukanlah perdagangan segitiga.
Pembelian sutra dan teh oleh Inggris dari Tiongkok dibayar dengan opium yang
berasal dari India. Oleh karena masuknya candu ke Tiongkok ini, maka
menyebabkan makin berlipat gandanya pecandu, sehingga akhirnya Tiongkok harus
mengimpor candu dari pihak Inggris, dimana selama kurun waktu 40 tahun, impor
candu telah membengkak dari 1000 kotak menjadi 40.000 kotak. Makin meningkatnya
pecandu opium ini melemahkan negara dengan dua cara, yakni melemahnya sumber
daya manusia serta mengalirnya kekayaan negara ke barat. Menimbang makin meningkatnya
pencandu opium yang pada tahun 1830-an sudah mencapai 10 juta jiwa, maka Kaisar
Daoguang memutuskan untuk mengeluarkan surat perintah pada Lin Zexu (1785-1850)
untuk menekan perdagangan candu tersebut. Sebagai pelaksanaan titah kaisar tersebut Lin menyita
dan membakar candu milik Inggris.
Ada beberapa hal yang
jarang disebutkan oleh para penulis Barat, sesungguhnya candu tersebut bukan
hanya sekedar disita, tapi Tiongkok bersedia memberi ganti rugi berupa uang
perak 10 tael serta teh 1 bal utk setiap peti candu. Lin juga sebelumnya telah
menulis surat ke Ratu Inggris dan memohon utk menghentikan kegiatan perdagangan
candu via EIC (East India Company) sebelum mengambil tindakan tegas. Pihak
Inggris marah dan menyatakan perang kepada Tiongkok sehingga meletuslah Perang
Candu (1840-1842). Perang ini diakhiri dengan kekalahan Tiongkok, karena
persenjataan barat yang lebih canggih serta makin melemahnya kekuatan Dinasti
Qing sendiri. Pada masa selanjutnya kita dapat melihat bahwa kekuatan barat
makin leluasa menguasai Tiongkok secara perlahan-lahan. Pemberontakan yang
terjadi di mana-mana juga makin memperlemah Dinasti Qing.
Pemberontakan Taiping (1850-1864) merupakan pukulan
besar bagi Dinasti Qing, yang terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Xianfeng (1851-1861).
Pemimpinnya adalah Hong Xiuquan, seseorang yang terpengaruh oleh Agama Kristen.
Pada mulanya bangsa Barat bersimpati pada pemberontakan ini, namun setelah
mengetahui bahwa Hong mempunyai doktrin yang agak miring,dengan menyatakan diri
sebagai adik Yesus Kristus, maka bangsa Baratpun berbalik mendukung Dinasti
Qing. Pemberontakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan dengan bantuan barat
sehingga menunjukkan makin bergantungnya Tiongkok pada barat. Sentimen
anti-Manchu berkembang subur di mana- mana, salah seorang tokoh paling menonjol
adalah Sun Yatsen, dimana ia pada akhirnya pada tanggal 15 Februari 1912
berhasil membuat kaisar terakhir Dinasti Qing, Puyi (1909-1911) turun tahta.
Tiongkok menjadi negara republik. Runtuhlah sistim dinasti yang telah
berlangsung selama kurang lebih 5000 tahun semenjak Yu, pendiri Dinasti Xia
hingga Puyi, kaisar terakhir Tiongkok. [Dinasti Qing.2010. http:// iccsg. wordpress.com/
2006/01/05/serial-sejarah-dinasti-qing-1644-1912/].
Dinasti Qing atau Ch’ing
(1644-1912) adalah dinasti yang merubuhkan Dinasti Ming(1368-1644), Dimasa Hung
Hei Kwun itu era keemasan Qing . Masa keemasan Qing sudah menjadi konsensus
sejarah sampai tahun 1796 (masa kaisar Qianlong berkuasa) dengan
luas wilayah Tiongkok yang besar sepanjang sejarah. Jadi pada masa Hung Hei
Kwun tidak membutuhkan bantuan militer dari negara asing manapun untuk
mengatasi masalah dalam negri.Sesudah Qianlong , Dinasti Qing mulai memasuki
masa suram dan di warnai berbagai pemberontakan. Dinasti Qing meminta bantuan
barat , dalam hal ini Prancis dan Inggris untuk membantu Qing menumpas
pemberontakan Taiping(1850-1864) . Kebetulan Taiping ini di pimpin oleh Hong
Xiu Quan (Hung Hsiu Ch’uan).
1.1.2 Pemberontakan dan Imperialisme Barat
Kehadiran bangsa barat pada awal abad 18
mengerogoti kekuasaan bangsa Manchu. Berbagai pemberontakan suku Han yang
berniat menggulingkan dinasti Qing dan memulihkan dinasti Ming terjadi dalam
berbagai skala. Namun salah satu pemberontakan besar adalah pemberontakan Taiping yang
menjadikan Nanjing sebagai ibukota. Perang Candu yang diakhiri dengan
kekalahan juga membawa ketidakpuasan di kalangan bangsa Han terhadap bangsa
Manchu.
Perang Candu I, 1838 berujung pada kekalahan dinasti Qing
yang memalukan pada tahun 1842. Perjanjian Nanjing
berdampak pada diserahkannya Hong Kong
kepada Inggris dan dibukanya
pelabuhan-pelabuhan Cina pada bangsa barat.
1.1.3 Pemerintahan di Balik
Tirai
Setelah kekalahan Cina dalam perang Sino-Jepang (1894-1895) Kaisar Guangxu (memerintah
1875 - 1908) akhirnya memutuskan untuk melakukan
pembaharuan / reformasi. Reformasi Seratus
Hari tahun 1898
yang disokong oleh kaisar Guangxu banyak ditentang oleh kalangan konservatif.
Dibawah pimpinan Ibu Suri Cixi
(janda kaisar Xianfeng, ibu
angkat kaisar Guangxu), mereka mengadakan kudeta yang mengakibatkan dilucutinya
kekuasaan kaisar Guangxu. Yuan Shikai,
panglima militer yang tadinya diminta bantuan militernya oleh Kaisar Guangxu,
memilih untuk memihak Ibu Suri Cixi sehingga menimbulkan dendam yang dalam pada
kaisar Guangxu terhadapnya. Mulai saat itu, Ibu Suri Cixi yang sudah berhenti
menjadi wali kaisar Guangxu kembali berkuasa dan reformasi pun terhenti. Pada
tahun 1901 Ibu Suri Cixi
mendukung pemberontakan
Boxer untuk mengusir bangsa barat dan menyatakan perang terhadap 8
negara asing. Gabungan delapan negara berhasil merebut Beijing sehingga Ibu
Suri dan Kaisar dan keluarga kerajaan harus lari ke Xi'an. Walaupun gabungan
delapan negara pada awalnya menghendaki Ibu Suri Cixi dihukum mati, berkat
diplomasi dari Li Hongzhang
(panglima tentara Beiyang,
yang sepeninggalnya menyerahkan tentara Beiyang di bawah pimpinan Yuan Shikai)
ia selamat walaupun Cina harus membayar ganti rugi yang sangat besar.
Sekembalinya ke Beijing, Ibu Suri Cixi akhirnya setuju dengan reformasi,
walaupun terlambat. Pihak kekaisaran Qing mengumumkan bahwa kekaisaran akan
secara bertahap diubah menjadi monarki konstitusional, namun pihak nasionalis
menganggap pemerintah Qing tidak mempunyai itikad baik untuk
mengimplementasikannya.
1.1.4.
Wilayah Kekuasaan Dinasti Qing
Luas wilayah Dinasti Qing pada masa puncaknya pernah mencpai 12 juta
kilometer persegi. Pada akhir abad ke-16, Ketsaran Rusia mengadakan ekspansi ke
timur. Pada waktu tentara Dinasti Qing menyerbu masuk ke pedalaman, pasukan
Ketsaran Rusia dengan menggunakan kesempatan itu menduduki Yaksa dan Nibuchu.
Pemerintah Dinasti Qing berkali-kali menuntut agresor Ketsaran Rusia menarik diri dari wilayah Tiongkok.
Tahun 1685 dan 1686, Kaisar Kangxi
memerintahkan tentara Dinasti Qing dua kali menyerbu pasukan Ketsaran Rusia di
Yaksa. Ketentaraan Rusia terpaksa menyetujui mengadakan perundingan untuk
menyelesaikan masalah perbatasan sektor timur Tiongkok-Rusia. Tahun 1689,
wakil-wakil Tiongkok dan Rusia mengadakan perundingan di Nichersink. Dan secara resmi
menandatangani perjanjian perbatasan pertama, yaitu Perjanjian Nibuchu.
1.1.5 Sosial Budaya dan Agama
Dalam pemerintahan Dinasti Qing mempunyai kebudayaan yang unik, yang mana
kebudayaan tersebut mengikuti kebudayaan masyarakat Manchu. Masyarakat Manchu
memiliki gaya rambut yang istimewa. Mereka menggunting semua rambut di bagian
depan kepala dan menjadikan rambut di bagian belakang kepala sebagai tocang
yang panjang. Akan tetapi hal tersebut menjadi sebuah perdebatan, karena hal
tersebut sangatlah menghina bangsa Han, yang mana bangsa mereka sangatlah menjunjung
atau menganggap bahwa rambut adalah suatu turunan dari leluhur yang memang
patut untuk dilestarikan.
Dalam hal arsitektur, pemerintahan Qing pada umumnya mewarisi tradisi dari
Dinasti Ming, yang mana mereka beranggapan bahwa bangunan adalah sesuatu hal
yang penting dalam teknologi pembinaan dan kemegahannya. Beijing, ibunegara
Dinasti Qing telah memelihara pada asasnya keadaan asalnya daripada Dinasti
Ming. Di dalam kota terdapat 20 buah gerbang yang tinggi dan megah, gerbang
yang paling megah ialah Gerbang Zhengyang di dalam kota. Istana diraja Dinasti
Ming telah digunakan terus oleh Raja Dinasti Qing, sehingga raja Dinasti Qing
telah membina besar-besaran taman diraja antaranya Taman Yuanmingyuan dan Taman
Yihe.
Dalam periode tersebut, pembinaan Cina juga telah menggunakan kaca dari
luar negara. Selain itu, rumah penduduk yang bergaya bebas dan beraneka ragam
telah banyak digunakan. Bangunan Agama Budhha Tibet yang bergaya unik telah
banyak digunakan dalam period tersebut. Bahkan bangunan kuil telah mereka
perbarui. Mereka telah menciptakan seni bangunan yang beraneka ragam, contohnya
adalah bangunan Kuil Yonghe dan beberapa kuil agama Budha Tibet yang digunakan
di Chengde, Provinsi Hebei Cina. Pada periode akhir Dinasti Qing, bangunan yang
dibina dengan seni bina Cina dengan barat juga telah digunakan di Cina.
Dinasti Qing juga mengadopsi cara-cara dari dinasti Ming terutama anutan
Konghucu. Walaupun pada awalnya pembauran antara bangsa Han dan Man dilarang
demi untuk mempertahankan budaya dan ciri bangsa Manchu, pada akhir abad ke 19
bangsa Manchu sudah sangat membaur dengan bangsa Han dan kehilangan banyak
identitas mereka, contohnya bahasa Manchu yang lama kelamaan digantikan hampir
sepenuhnya dengan bahasa Mandarin, bahkan dalam lingkungan keluarga kerajaan.
Bahkan pakaian Cina tradisional atau yang sering disebut Hanfu, juga
digantikan dengan pakaian gaya Manchu, yaitu Qipao (pakaian akar panji panji) dan
Tangzhuang. Budaya tersebut harus diikuti oleh rakyat Cina. Dan apabila ada
rakyat Cina yang tidak menggunakannya maka akan dikenakan hukuman. Dan hukuman
bagi yang tidak mematuhi undang-undang itu adalah hukuman mati.
1.1.6 Hubungan Luar Negeri
Pada masa Dinasti Qing, pemerintah tetap menjunjung kebijakan pengembangan
pertanian sebagai kebijakan pokoknya, tapi dalam hubungan dengan luar negeri,
Dinasti Qing sangat terisolasi karena cenderung menutup diri.
Setelah masa pertengahan, berbagai kontradiksi masyarakat Dinasti Qing
mulai meruncing, sementara itu perjuangan pemberontakan juga kerap kali
terjadi, di antaranya pemberontakan Balianjiao
mengakhiri masa emas pemerintahan Dinasti Qing.Dinasti Qing (1644 - 1912)
Dinasti Qing sama dengan Yuan merupakan dinasti bangsa asing di Tiongkok,
karena didirikan Bangsa Manchu, dan sekaligus merupakan dinasti terakhir di
Tiongkok. Shunzhi yang merupakan kaisar pertamanya harus berjuang keras untuk
membersihkan Tiongkok dari sisa-sisa Dinasti Ming secara bertahap.
Peristiwa penting yang patut dicatat adalah kunjungan duta besar Macartney
dari Inggris untuk membuka hubungan bagi Tiongkok dan dunia Barat, namun
sayangnya hubungan dengan bangsa Barat ini kelak diakhiri dengan penjajahan
beberapa bagian Tiongkok. Kunjungan ini terjadi pada masa pemerintahan Kaisar
Qianlong (1736 - 1795) dan bertujuan untuk membuka hubungan dagang serta
kedutaan di Tiongkok. Tetapi Qianlong menjawabnya dengan pernyataan, "Aku
tidak menghargai sedikitpun barang aneh ataupun luar biasa dan tidak memerlukan
hasil dari negara Anda". Utusan ini dapat dinilai sebagai suatu kegagalan.
Qianlong digantikan oleh putera kelimanya Jiaqing (1796 - 1820), pada masanya
berkembanglah perasaan anti Manchu di kalangan Bangsa Tionghoa, yang mendorong
timbulnya berbagai perkumpulan rahasia untuk menggulingkan Dinasti Qing,
seperti misalnya perkumpulan Teratai Putih. Pada masa kaisar berikutnya
Daoguang (1821 - 1850), terjadilah peristiwa penting dalam sejarah Tiongkok,
yakni Perang Candu. Latar belakang perang ini adalah sebagai berikut: semenjak
kegagalan kunjungan Macartney dilakukanlah perdagangan segitiga. Pembelian
sutra dan teh oleh Inggris dari Tiongkok dibayar dengan opium yang berasal dari
India. Oleh karena masuknya candu ke Tiongkok ini, maka menyebabkan makin
berlipat gandanya pecandu, sehingga akhirnya Tiongkok harus mengimpor candu
dari pihak Inggris, dimana selama kurun waktu 40 tahun, impor candu telah
membengkak dari 1000 kotak menjadi 40.000 kotak. Makin meningkatnya pecandu
opium ini melemahkan negara dengan dua cara, yakni melemahnya sumber daya
manusia serta mengalirnya kekayaan negara ke barat. Menimbang makin
meningkatnya pencandu opium yang pada tahun 1830-an sudah mencapai 10 juta
jiwa, maka Kaisar Daoguang memutuskan untuk mengeluarkan surat perintah pada
Lin Zexu (1785 - 1850) untuk menekan perdagangan candu tersebut. Sebagai
pelaksanaan titah kaisar tersebut Lin menyita dan membakar candu milik Inggris.
Ada beberapa hal yang jarang disebutkan oleh para penulis Barat, sesungguhnya
candu tersebut bukan hanya sekedar disita, tapi Tiongkok bersedia memberi ganti
rugi berupa uang perak 10 tael serta teh 1 bal utk setiap peti candu. Lin juga
sebelumnya telah menulis surat ke Ratu Inggris dan memohon utk menghentikan
kegiatan perdagangan candu via EIC (East India Company) sebelum mengambil
tindakan tegas. Pihak Inggris marah dan menyatakan perang kepada Tiongkok
sehingga meletuslah Perang Candu (1840 - 1842). Perang ini diakhiri dengan
kekalahan Tiongkok, karena persenjataan barat yang lebih canggih serta makin
melemahnya kekuatan Dinasti Qing sendiri. Pada masa selanjutnya kita dapat
melihat bahwa kekuatan barat makin leluasa menguasai Tiongkok secara
perlahan-lahan. Pemberontakan yang terjadi di mana-mana juga makin memperlemah
Dinasti Qing. Pemberontakan Taiping (1850 - 1864) merupakan pukulan besar bagi
Dinasti Qing, yang terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Xianfeng (1851 -
1861). Pemimpinnya adalah Hong Xiuquan, seseorang yang terpengaruh oleh Agama
Kristen. Pada mulanya bangsa Barat bersimpati pada pemberontakan ini, namun
setelah mengetahui bahwa Hong mempunyai doktrin yang agak "miring",
dengan menyatakan diri sebagai adik Yesus Kristus, maka bangsa Baratpun
berbalik mendukung Dinasti Qing. Pemberontakan ini pada akhirnya berhasil
dipadamkan dengan bantuan barat sehingga menunjukkan makin bergantungnya
Tiongkok pada barat. Sentimen anti-Manchu berkembang subur di mana-mana, salah
seorang tokoh paling menonjol adalah Sun Yatsen, dimana ia pada akhirnya pada
tanggal 15 Februari 1912 berhasil membuat kaisar terakhir Dinasti Qing, Puyi
(1909 - 1911) turun tahta. Tiongkok menjadi negara republik. Runtuhlah sistim
dinasti yang telah berlangsung selama kurang lebih 5000 tahun semenjak Yu,
pendiri Dinasti Xia hingga Puyi, kaisar terakhir Tiongkok.
1.2 Penyebab Runtuhnya Dinasti Qing
Pada tahun 1908 Kaisar Guangxu dan Ibu
Suri Cixi wafat pada saat yang bersamaan dan tahta diserahkan kepada keponakan
kaisar Guangxu, Aixinjueluo Puyi
yang berumur 3 tahun dengan ayahnya Pangeran Chun sebagai
pangeran wali. Pangeran Chun berniat membunuh Yuan Shikai sesuai wasiat kaisar
Guangxu namun digagalkan oleh Zhang Zhidong
dengan alasan membunuh Yuan dapat mengakibatkan pemberontakan tentara Beiyang.
Karena kekuatan militer tentara Beiyang yang dipimpin Yuan Shikai cukup besar,
Yuan dipanggil lagi untuk memerangi kekuatan nasionalis di selatan yang
dipimpin oleh Dr. Sun Yat Sen. Pemberontakan di Wuchang pada 10 Oktober 1911 berhasil dan diikuti dengan
didirikannya Republik Cina di selatan dengan Nanjing sebagai ibukota dan Sun Yat Sen (Sun Zhongshan) sebagai kepala
sementara. Sejak saat itu berbagai propinsi di selatan menyatakan lepas dari
dinasti Qing untuk bergabung dengan republik.Yuan menyingkirkan pangeran Chun dan
membuat kabinet yang isinya adalah kroni-kroninya dengan Yuan sendiri sebagai
Perdana Menteri. Namun Yuan berhubungan dengan Sun untuk kepentingan
pribadinya. Sun setuju untuk menyerahkan tampuk kepresidenan untuk Yuan bila ia
setuju untuk memaksa Kaisar Xuantong (Puyi) turun tahta.
Pada tahun 1912 Yuan Shikai memaksa Ibu Suri Longyu (janda
kaisar Guangxu) untuk menurunkan maklumat turun tahtanya kaisar Xuantong /
Puyi. Pihak republik berjanji untuk membiarkan kaisar Puyi tetap menempati
sebagian kota terlarang dan mempertahankan gelar Kaisar, walaupun hanya akan
dihormati seperti layaknya negara asing.
Dinasti Qing pun berakhir pada 12 Februari 1912.
Sinolog I Wibowo (2004: 26) mengatakan
bahwa sepanjang rentang tersebut Cina telah mengalami empat kali proses
‘globalisasi’. Pertama adalah pada masa awal masehi ketika Cina membangun
relasi dagang dengan kekaisaran Roma, khususnya melalui jalur perdagangan
sutera,yang kemudian diikuti dengan masuknya agama Budha.
Globalisasi kedua terjadi ketika masa
Dinasti Ming (1368-1644), yakni ketika Cina
berhubungan dengan bangsa Barat. Hal ini terutama ditandai dengan masuknya
misionaris Jesuit kedaratan Cina. Selain menyebarkan agama, persinggungan
dengan tehnologi, seni dan berbagai ilmumenjadi puncak perkenalan Cina dengan
konsep ‘dunia’. Kedekatan ini terus berlanjut hingga awal kepemimpinan Qing
(1644-1911) namun terpenggal oleh kebijakan pintu tertutup yang diberlakukan
oleh Kaisar Kingxi. Para misionaris menghadapi tuduhan bahwa mereka telah
menghina Kaisar dan kebudayaan Cina. Hampir 100 tahun Cina hanya dapat
‘dikunjungi’ melaluiCanton (Guangzhou).
Perang Candu (1840) menjadi titik bagi
globalisasi ketiga. Pada periode ini Inggris berhasil memaksa Cina untuk
menandatangani serangkaian perjanjian yang menandai dibukanya perbagai
pelabuhan dan kota-kota di Cina. Masa itu adalah masa gelap kekaisaran Cina
karena mereka merasa dihina dan direndahkan. Konflik antar golongan memuncak
hingga masa-masa pasca Perang Dunia II. Kepercayaan kepada Kaisar berkurang dan
puncaknya adalah tumbangnya Kekaisaran Cina digantikan oleh sistem konstitusi
republik yang modern. Secara ideologis merekameninggalkan “Da Tong” atau
harmoni agung dan memilih konsep masyarakat tanpa kelas–Komunisme (Partai
Komunis Cina didirikan tahun 1921). Sun Yat Sen pun menjadi Presidenpertama.
Dan akhirnya berkuasanya Partai Komunis Cina (1949) menandai proses
globalisasi
keempat. Kemenangan kaum Bolshevik, 1917 di Rusia merangsang semangat Mao
Zedong dan kaum intelektual Cina untuk mengalahkan Barat dengan ‘cara’ Barat
pula. Pada masa ini Cina membongkar struktur hirarkis tradisional dan
menggantinya dengan monoculture a la Marxisme/Komunisme. Kata sosialis dan
revolusioner menjadi panji yang melegitimasi pengerusakan segala sesuatu yang
berbau tradisi dan dianggap reaksioner. Semua itu diberlakukan bukan saja pada
manusia tapi juga pada bidang kebudayaan: bangunan, makanan, pakaian, bacaan,
dan lainnya. Klimaks dari situasi ini adalah “Revolusi Kebudayaan“, tahun
1966.Rupanya Cina berusaha mendekonstruksi seluruh masa lalunya yang berumur
ribuan tahun. Mereka menghancurkan tradisi dan menggantikannya dengan ideologi
yang berakar dari Eropa Barat walau ideologi itu sendiri tidak pernah muncul di
Eropa dan hanya menyisakan satu elemen saja, yakni bahasa. Deng Xiaoping yang
kemudian menggantikan Zedong akhirnya mempercepat sekian laju yang telah
terbangun. Gaige, Kaifang (reformasi) dan membuka diri menjadi slogan utama
yang mendorong Cina untuk merangkul neoliberalisme. Deng Xiaoping juga berhasil
membawa Cina keluar dari krisis pasca pembantaian Tiananmen, 4 Juni 1989 dan menganjurkan
“Perjalanan ke Selatan” untuk meneruskan perjalanan globalisasi mereka. Sejak saat
itulah Cina melesat dan terus ‘bersatu’ (integrated) dengan dunia.
Dasuki, Achmad dan Rochiati Wiraatmadja. Sejarah Asia
Timur. Tanpa tahun dan penerbit.
Soebantardjo. 1958. Sari
Sedjarah; Jilid 1: Asia-Australia. Yogyakarta: Bopkri
Taniputera,Ivan.2009.The
History of Cina.Ar-Ruz Media:Jogjakarta
Blogger.2010.Dinasti Qing.http://unic66.blogspot.com/2010/04/kekejaman-dinasti-qing-atau-dinasti.html.[diakses padatanggal 4 November 2012].
Wapedia.2010.Dinasti
Qing.http://wapedia.mobi/id/Dinasti_Qing?t=3.[diakses padatanggal 4 November 2012].
Wapedia.2010.Sejarah
Dinasti Qing. http://www.tionghoa.com/category/sejarah/dinasti-qing/.[diakses
padatanggal 4 November 2012].
Wibowo, Sinolog I.2010.
Dinasti Qing. http://wibowo05.blog.friendster.com/.[diakses
padatanggal 4 November 2012].
Wikipedia.2010.Dinasti Qing. Pada http:// indonesian.cri.cn/401/20
09/06/10/1s97709.ht ml. [diakses padatanggal 4 November 2012].
Wordpress.2010.Sejarah dinasti Qing.http://iccsg.wordpress.com/2006/01/05/serial-sejarah-dinasti-qing-1644-1912/[ diakses padatanggal 4 November 2012].
Worpress.2010.Dinasti Qing.http://iccsg.wordpress.com/2006/01/05/serial-sejarah-dinasti-qing-1644-1912/http://www.budaya-[ diakses padatanggal 4 November 2012